Si pemulung lantas mengambil salah satu kertas. Tertera di sana lontong gulai, disertai sebuah paraf dan nasihat agar tak melupakan salat. Atas permintaan si pemulung, makanan dan minuman dibungkus karena dia harus melanjutkan pekerjaan.
”Semua gratis. Makanan dan minuman di kertas itu sudah dibayari orang lain,” terang Uncu pada peresmian outlet ke-8 Kopi Dindiang Jumat (24/3).
Warung-warung sederhana ini menjadi semacam perantara bagi para pengunjungnya untuk bederma kepada sesama melalui program Kopi Dindiang. Caranya sederhana. Kalau ingin memberikan donasi, tamu warung tinggal melebihkan bayaran untuk makanan dan minuman yang disantap. Tanpa ada batasan nominal. Seikhlasnya.
Jadi, misalnya, ada pengunjung yang memesan kopi susu gelas kecil seharga Rp 8 ribu. Tapi, di kantongnya masih tersisa uang untuk membayar segelas lagi yang ingin dia dermakan. Dia hanya perlu menyerahkan uang Rp 16 ribu itu ke kasir. Selembar kertas kecil akan diberikan kepadanya. Di sana tinggal ditulis, ”kopi susu gelas kecil”.
Tempat kertas itu selanjutnya adalah dinding warung. Begitu kertas sudah tertempel, siapa saja yang membutuhkan kehangatan segelas kopi susu tinggal memilihnya.
Bagaimana kalau sumbangannya berlipat-lipat dari harga yang harus dibayar? Penyumbang, atau melalui pemilik warung, tinggal membaginya ke dalam kertas yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah sumbangan. Nilai sumbangan Rp 100 ribu, contohnya, tinggal dibagi untuk berbagai menu yang lantas dituliskan di dalam kertas. Katakanlah tiap kertas Rp 20 ribu, berarti ada lima kertas yang akan ditempel di dinding.
Pemulung, pengemis, sopir, tukang sapu, buruh angkat, dan orang-orang kurang mampu telah turut menikmati kedermawanan para donatur di Kopi Dindiang yang memang kaum dhuafa target utamanya.
Pemberi maupun penerima tak saling kenal. Penerima tidak mengetahui santapannya pemberian siapa. Sebaliknya, pemberi tak pernah tahu donasinya dinikmati siapa, sukunya apa, atau agamanya apa. Sebuah bentuk toleransi tanpa sekat
Penggagas pertama Kopi Dindiang adalah Miko Kamal yang juga merupakan Dosen di Universitas Bung Hatta, Padang, itu menggali idenya dari posting-an rekannya, Heranof Firdaus, pada Februari 2015 tentang kisah kopi dinding di Venezia, Italia. Dalam posting-an di media sosial itu, dikisahkan sepasang wisatawan yang heran karena banyak warga lokal yang memesan kopi dengan meneriakkan, ”Kopi dua cangkir. Yang satu untuk dinding.”
Miko lantas melontarkan ide tersebut kepada Sutoyo dan sejumlah sejawat dari beragam latar belakang yang sama-sama pelanggan Lapau Ongga. Gayung bersambut. Disepakati, program itu dimulai pada 27 Februari 2015.
”Saya masih ingat sekali pada saat itu membayar dua porsi kopi susu untuk segelas kopi susu yang saya minum. Satunya saya tulis di kertas,” kenang Miko.
Yang ditulis di kertas disesuaikan dengan menu yang tersedia di Lapau Ongga (outlet pertama kopi dindiang
Berangkat dari ide kecil yang dijalankan di sebuah warung sederhana, Kopi Dindiang ternyata mengecambah. Menjadi perbincangan di tempat-tempat yang jauh dari Padang. Salah satu buktinya, belum lama berselang, sumbangan 100 dolar Australia meluncur dari Negeri Kanguru, dan hari ini sudah diresmikan outlet ke-8 kopi Dindiang, karena hikayatnya manusia jiwa empatinya harus dilatih sedari dini karena berbagi takkan pernah merugi.
No comments
Post a Comment